Selasa, 21 Desember 2010

contoh surat somasi pertama


SOMASI                                                                                               Tangerang, 10 Mei 2009

Hal         : Somasi Pertama
                                                                                                                Kepada Yth
                                                                                                                Al-Bani Nugraha
                                                                                      Jl. A. Yani No.151 Rt 17/07 Cikokol, Tangerang
Dengan Hormat
            Yang bertanda tangan dibawah ini:
                        Nama               :Aulia Hasnan, SH.MH.
                        Alamat             :Jalan raya Perintis Blok K No. 2A Tangerang
                        Pekerjaan         :Advokat/Pengacara/Penasihat Hukum
            Berdasarkan kekuatan surat kuasa khusus, bermaterai cukup tanggal 01 Mei 2009Untuk dan atas nama klien kami, Sdr. Muhamad Reza pekerjaan Wiraswasta bertempat tinggal di Jl. Daan mogot no 24 Cipondoh,Tangerang, dengan ini kami ingin menyampaikan Somasi kepada saudara sebagai berikut :
            Bahwa klien kami dengan saudara telah membuat suatu perikatan dalam hal ini utang piutang. Saat itu pada tanggal 10 September 2008 klien kami meminjamkan sejumlah uang sebesar Rp. 600.000.000,00- (enam ratus juta rupiah) kepada saudara yang untuk di pergunakan dalam pembangunan pabrik saudara. Dengan perjanjian bahwa saudara akan membayarnya secara berangsur selama 1 tahun  dengan jumlah angsuran Rp. 50.000.000,00- (lima puluh juta rupiah)per bulan. Namun setelah tiga bulan saudara tidak lagi melunasi angsuran tersebut dengan alasan yang tidak jelas, sehingga telah terjadi wanprestasi. Bahwa karena sampai tanggal 10 Mei 2009 saudara belum menunjukan itikad baik untuk membayar angsuran hutang, yang telah saudara lalaikan selama 4x angsuran.
            Oleh karena itu kami memberikan kesempatan kepada saudara untuk membayar angsuran tesebut selambat-lambatnya 7x24 jam sejak dikeluarkannya surat somasi pertama ini. Namun apabila setelah jangka waktu yang tersebut saudara tidak juga dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada alinea tiga, maka dengan sangat terpaksa kami akan menempuh jalur atau proses hukum yang berlaku baik gugatan perdata maupun tuntutan pidana.
            Demikian surat ini harap diperhatikan.

                                                                                                         Hormat Kami
                                                                                                         Kuasa Hukum

                                                                                                 Aulia Hasnan, SH.MH.

Minggu, 19 Desember 2010

hukum perbankan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung pada kepercayaan dari masyarakat, oleh karena itu tanpa adanya kepecayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurang percayaan masyarakat terhadap dunia perbankan yang pada saat ini tengah gencar melakukan akspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat di perlukan.
Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Hal ini membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundang-undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen.
Rasio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya[1].UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945[2].
Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C)[3].
Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai klausula baku. Sedangkan dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen antara lain adalah dengan diintrodusirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Berdasarkan pada hal-hal dimaksud, maka Penulis tertarik untuk mengangkat tema perlindungan konsumen di bidang perbankan ke dalam karya tulis ini. Untuk itu judul yang penulis angkat adalah Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Sebagai Konsumen Jasa Perbankan.



[1] Az. Nasution, 2003, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42”, Artikel pada Teropong, Media Hukum dan Keadilan (Vol II, No. 8, Mei 2003), MaPPI-FH UI dan Kemitraan.
[2] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal 17
[3] Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 32-33.

PERSONALITAS DARI HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL

PERSONALITAS DARI HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL
Suatu organisasi internasional yang dibentuk melalui suatu perjanjian dengan bentuk “instrumen pokok” apapun akan memiliki suatu personalitas hukum didalam hukum internasional. Personalitas hukum ini mutlak penting guna memungkinkan organisasi internasional itu dapat berfungsi dalam hubungan internasional, khususnya kapasitasnya untuk melaksanakan fungsi hukum seperti membuat kontrak, membuat perjanjian dengan suatu negara lainnya.
Secara yuridis, organisasi internasional memiliki personalitas hukum. Personalitas hukum ini berkaitan dengan personalitas hukum dalam konteks hukum nasional dan personalitas dalam konteks hukum internasional.
1. Personalitas hukum dalam konteks hukum nasional.
Personalitas hukum organisasi internasional dalam konteks hukum nasional pada hakikatnya menyangkut keistimewaan dan kekebalan bagi organisasi internasional itu sendiri yang berada di wilayah suatu negara anggota, bagi wakil-wakil dari negara anggotanya dan bagi pejabat-pejabat sipil internasional yang bekerja pada organisasi internasional tersebut. Hampir semua instrumen pokok mencantumkan ketentuan bahwa organisasi internasional yang dibentuk itu mempunyai kapasitas hukum dalam rangka menjalankan fungsinya atau memiliki personalitas hukum (Suryokusumo, 1990).
2. Personalitas hukum dalam konteks hukum internasional.
Persomalitas hukum dari suatu organisasi internasional dalam konteks hukum internasional pada hakikatnya menyangkut kelengkapan organisasi internasional tersebut dalam memiliki suatu kapasitas untuk melakukan prestasi hukum, baik dalam kaitannya dengan negara lain maupun negara-negara anggotanya, termasuk kesatuan lainnya. Kapasitas itu telah diakui dalam hukum internasional. Pengakuan tersebut tidak saja melihat bahwa organisasi internasional itu sendiri sebagai subjek hukum internasional, tetapi juga karena organisasi itu harus menjalankan fungsinya secara efektif sesuai dengan mandat yang telah dipercayakan oleh para anggotanya.
Dari segi hukum, organisasi internasional sebagai kesatuan yang telah memiliki kedudukan personalitas tersebut, sudah tentu memiliki wewenangnya sendiri untuk mengadakan tindakan-tindakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam instrumen pokoknya maupun keputusan organisasi internasional tersebut yang telah disetujui para anggotanya. Namun, hal ini banyak menimbulkan perselisihan karena secara eksplisit tidak disebutkan dalam instrumen pokok

Hukum pajak


PERPAJAKAN DAN SENGKETA PAJAK

A.    Tinjauan Umum Pajak
1.      Pengertian Pajak
Pasal 23 (A) UUD 1945 (Amandemen IV), merupakan dasar hukum pungutan pajak di Indonesia yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Berkaitan dengan pajak, ada banyak pengertian yang diberikan oleh para sarjana mengenai apa sebenarnya pajak itu.
Definisi pajak menurut P.J.A. Andriani, yaitu berbunyi sebagai berikut:[1]
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sekedar untuk perbandingan berikut ini adalah definisi dari beberapa Sarjana yaitu:[2]
a)      Definisi Francis, berbunyi : Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja pemerintah.
b)      Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) berbunyi: Pajak adalah hutang uang secara insidental atau secara periodic (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersyarat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.
Beberapa ciri atau karakteristik dari pajak adalah sebagai berikut :
a)      Pajak dipungut berdasarkan atas undang-undang;
b)      Terhadap pembayaran pajak, tidak ada jasa timbal balik (tegen prestasi) yang dapat ditunjukkan secara langsung;
c)      Pemungutan dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah;
d)     Hasil dari uang pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya dipergunakan untuk public investment;
e)      Di samping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukan dana dari rakyat kedalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yakni fungsi mengatur.

2.      Fungsi Pajak
Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama dari pajak, yakni fungsi budgeter (anggaran) dan fungsi Regulerend (mengatur).[3]
a)      Fungsi budgeter (anggaran)
Fungsi pajak budgeter adalah fungsi yang letaknya disektor publik, dan pajak tersebut merupakan suatu alat untuk memasukkan uang sebanyak banyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, terutama untuk membiayai pengeluaran rutin, dan apabila setelah itu masih ada sisa (surplus), maka surplus ini dapat digunakan untuk membiayai infestasi pemerintah (public saving untuk public invesment)
b)      Fungsi Regulerend (mengatur)
Pajak mempunyai fungsi mengatur (Regulerend), dalam arti bahwa pajak itu dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial dengan fungsi mengaturnya pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan dan fungsi mengatur itu banyak ditujukan terhadap sektor swasta.

B.     Pengertian Sengketa Pajak
Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.
Menurut ketentuan Pasal I angka 5 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan Perundangan-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.
Upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa yang dapat dilakukan oleh wajib Pajak adalah keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal pajak. Sedangkan upaya hukum banding dan gugatan diajukan ke Pengadialan Pajak. Khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung.

















[1] R, Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Rafika Aditama, Bandung, 2003 hlm.2
[2] Ibid, hlm 3
[3] Ibid, hlm 212

Bab I Hukum waris BW

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.
Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
Pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dua cara untuk mendapatkan suatu warisan, yaitu sebagai berikut [1]:
1.      Secara ab instestato (ahli waris ,menurut undang- undang) dalam Pasal 832
Menurut ketentuan undang- undang ini, yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama.
Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris ini dibagi dalam empat golongan yang masing- masing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga, dan golongan keempat.
2.      Secara tertamentair (ahli waris karena ditunjukan dalam surat wasiat) dalam Pasal 899
Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen.
            Namun terkadang dalam pembagian waris banyak terdapat kesalahpahaman, yang menimbulkan persengketaan diantara ahli waris. Oleh karena itu, para penggugat sebagai pihak yang merasa dirugukan dalam pembagian wari mengajukan gugatan perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Semua itu dilakukan oleh para pihak untuk memperoleh san mempertahankan hak-haknya dihadapan hukum.  Oleh sebab itu lah Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dalam peradilan diharapkan mampu mengeluarkan putusan yang memberikan keadilan kepada penggugat dan tergugat.

B.Identifikasi Masalah
Setelah penulis mengungkapkan hal-hal di atas untuk kebutuhan penulisan, maka ada beberapa rumusan- rumusan sebagai patokan dari penulisan ini. Berikut adalah rumusan- rumusan ini:
1.      Menganalisis Putusan Mahkamah Agung No. 1112 K/Pdt/1990
2.      Bagiamana meninjau putusan dari aspek hukum perdata?




[1] Efendi Perangin,Hukum Waris,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 4